“Surat Mini pada Nana”
Padamu
Mungkin menangis darah
Juga mungkin
Kunang digenggam anita kecil
Menari habiskan lonceng
Nyanyi rel kereta yang tergantung
Purnakan ceritera
Tersaku secuil lentera
”LUVANITA”
ingin menangis dipelukan
dalam sempurna waktu
nisan dijari kecil
keranda penentram jiwa
KABARKAN PADANYA !
”SILENTIUM”
satu nama tertulis
kutiduri sepanjang malam
masih beri ingatan
pecah
terbawa perbincangan burung goak
”SILENTIUM 2”
gadis biawak terkam dada
menipukah Bung Karno
kepandaian kitakah yang lebih
’aku bukan lagi NISA’
kinasih kabayu nepsu
”Kembang Hitam”
Jadikan sedikit berwarna
Atau jadilah kumbang betina
Biarkan kembang tetap hitam
Asal kumbang adalah satu
Bilapun tersisih
”LUVANITA 2”
Sungsang
Menendang dinding jiwa
Layak
Pita nadi mengerak
Belatung bersumbing bibir
”Tiga Bermula”
orang berkisara
alam bernyawa
alam tak pernah bermuka murka
hanya gagu tanpa resolusi
yang pasti
tuhan tak lagi dituhankan
”Pengakuan Rasa”
aubade pekuburan
tanpa air mata
bukan kiraan sedih yang jenuh
hanya ingatan
lupa yang tengah ada
”Senandung Luka”
Bukan cinta sempurna
Jika luka asing dimata
Laku yang fasih nyatakan
Bersejajar derajat kegilaan
Pujian kasih
Pelangi yang terbakar
Berakhir di puncak bukit
Berbongkah air mata
”Tak Pinta Dilahirkan”
orangtua
tali pusar ini geli
mulut anjing berketuban
”Kira Akhirnya”
Rasa bangga
Dapati oma cucu-cucuku
Tapi betapa takut
Karna dia itu dirimu
‘PELANGI DASAR SAMUDRA’
“Rahma”
Tatap lantun lamunan
Asbak lidahmu sentakku
MAAF
Yang muntah bukan cinta
Namun suka
KARNA
Cinta milik istriku
Sampai kini masih sembunyi
Dari tuduhan penghulu
”Bukan Rayu Gombal”
Benci pada wajahmu
Karna sedikit berbeda
Jika boleh meminta
Plastiki wajahmu
Agar tak semanusia pun SUKA
Akhirnya
Nama kita dibuku nikah
”Akhir Surat Luntur Digerimis”
Tak lagi bicara rasa
Kelak
Bila tegak berdiri
Jadikan bapak
Dari anakmu di rahim
”Perawan Hik Bergelar Dewi”
Sepasang nescafe secangkiran
Bubuhan sejumput garam
Manis segula jahe
BAYANGKAN !
Begitu perawan hik temani sepianku
Sempurna propaganda
ibu dewi tiduri putri
”Sangkala Manik”
Lembah sangkala manik
Dengan setapak, kelor lapuk ratusan tahun
Bergelayut, lumut tua kian mengering
Kumbang-kumbang bening acap berkata
”tak satu bayang teramu”
setapak digelap semakin pekat
tanah semata kaki sesekali tertangkap
oleh sinar kelabang putih
merayap, susup bangkai anak kelelawar
”retak bergetah disentuhan”
terpendar biru kilatan parafin
dari sisik hitam ular tebing
matanya basah kilauan liontin
berulang lidah julur bising
”tak SIWA karna hidup bersabung”
sampai pada ujung
dimana air pasrah tertampik bebatuan
dan manik-manik air gantikan burung
sepasang kupu beradu pantat
mengepak sulih bayang pelangi
”sekadar kenangan jauhi fana”
tanggalkan manik-manik air
meniti akar beringin segenggaman
lawan HASRAT INGIN air
sekeras bayu setajam gaman
”semua tak sejalan, saling tikam”
sampai juga tanah datar
basah sebatas lutut
sungai ini terpapah pohon betuah
sejenak babi basahi moncong
”sisapun penghidupan bagi asing”
basuh lelah sesuap embun
datangkan gelombang bersautan
pecah terjamah bibir nila
bercengkrama lewat gelembung
”sambung kata satukan tuju”
dihujung mata gubuk si manik air
terlintang pula ular kembang
terdiam tak gemericik
satu babak, siap terkembang dan hilang
”sesunyi malam hujat perindu”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar