Kamis, 24 Juli 2008

Perawan HIK

“Surat Mini pada Nana”

Padamu

Mungkin menangis darah

Juga mungkin

Kunang digenggam anita kecil

Menari habiskan lonceng

Nyanyi rel kereta yang tergantung

Purnakan ceritera

Tersaku secuil lentera

”LUVANITA”

ingin menangis dipelukan

dalam sempurna waktu

nisan dijari kecil

keranda penentram jiwa

KABARKAN PADANYA !

”SILENTIUM”

satu nama tertulis

kutiduri sepanjang malam

masih beri ingatan

pecah

terbawa perbincangan burung goak

”SILENTIUM 2”

gadis biawak terkam dada

menipukah Bung Karno

kepandaian kitakah yang lebih

’aku bukan lagi NISA’

kinasih kabayu nepsu

”Kembang Hitam”

Jadikan sedikit berwarna

Atau jadilah kumbang betina

Biarkan kembang tetap hitam

Asal kumbang adalah satu

Bilapun tersisih

Kan kugadai satu sayap

”LUVANITA 2”

Sungsang

Menendang dinding jiwa

Layak

Pita nadi mengerak

Belatung bersumbing bibir

”Tiga Bermula”

orang berkisara

alam bernyawa

alam tak pernah bermuka murka

hanya gagu tanpa resolusi

yang pasti

tuhan tak lagi dituhankan

”Pengakuan Rasa”

aubade pekuburan

tanpa air mata

bukan kiraan sedih yang jenuh

hanya ingatan

lupa yang tengah ada

”Senandung Luka”

Bukan cinta sempurna

Jika luka asing dimata

Laku yang fasih nyatakan

Bersejajar derajat kegilaan

Pujian kasih

Pelangi yang terbakar

Berakhir di puncak bukit

Berbongkah air mata

”Tak Pinta Dilahirkan”

orangtua

tali pusar ini geli

mulut anjing berketuban

”Kira Akhirnya”

Rasa bangga

Dapati oma cucu-cucuku

Tapi betapa takut

Karna dia itu dirimu

‘PELANGI DASAR SAMUDRA’

“Rahma”

Tatap lantun lamunan

Asbak lidahmu sentakku

MAAF

Yang muntah bukan cinta

Namun suka

KARNA

Cinta milik istriku

Sampai kini masih sembunyi

Dari tuduhan penghulu

”Bukan Rayu Gombal”

Benci pada wajahmu

Karna sedikit berbeda

Jika boleh meminta

Plastiki wajahmu

Agar tak semanusia pun SUKA

Akhirnya

Nama kita dibuku nikah

”Akhir Surat Luntur Digerimis”

Tak lagi bicara rasa

Kelak

Bila tegak berdiri

Jadikan bapak

?

Dari anakmu di rahim

”Perawan Hik Bergelar Dewi”

Sepasang nescafe secangkiran

Bubuhan sejumput garam

Manis segula jahe

BAYANGKAN !

Begitu perawan hik temani sepianku

Sempurna propaganda

ibu dewi tiduri putri

”Sangkala Manik”

Lembah sangkala manik

Dengan setapak, kelor lapuk ratusan tahun

Bergelayut, lumut tua kian mengering

Kumbang-kumbang bening acap berkata

”tak satu bayang teramu”

setapak digelap semakin pekat

tanah semata kaki sesekali tertangkap

oleh sinar kelabang putih

merayap, susup bangkai anak kelelawar

”retak bergetah disentuhan”

terpendar biru kilatan parafin

dari sisik hitam ular tebing

matanya basah kilauan liontin

berulang lidah julur bising

”tak SIWA karna hidup bersabung”

sampai pada ujung

dimana air pasrah tertampik bebatuan

dan manik-manik air gantikan burung

sepasang kupu beradu pantat

mengepak sulih bayang pelangi

”sekadar kenangan jauhi fana”

tanggalkan manik-manik air

meniti akar beringin segenggaman

lawan HASRAT INGIN air

sekeras bayu setajam gaman

”semua tak sejalan, saling tikam”

sampai juga tanah datar

basah sebatas lutut

sungai ini terpapah pohon betuah

sejenak babi basahi moncong

”sisapun penghidupan bagi asing”

basuh lelah sesuap embun

datangkan gelombang bersautan

pecah terjamah bibir nila

bercengkrama lewat gelembung

”sambung kata satukan tuju”

dihujung mata gubuk si manik air

terlintang pula ular kembang

terdiam tak gemericik

satu babak, siap terkembang dan hilang

”sesunyi malam hujat perindu”

( Sh. AWI )